Cari Blog Ini

Minggu, 13 Februari 2011

Perkembangan Hukum Islam di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
Sepanjang telaah tentang sejarah hukum di Indonesia, maka nampak jelas kepada saya, bahwa sejak berabad-abad yang lalu, hukum Islam itu telah menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam di negeri ini. Betapa hidupnya hukum Islam itu, dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang disampaikan masyarakat melalui majalah dan koran, untuk dijawab oleh seorang ulama atau mereka yang mengerti tentang hukum Islam. Ada ulama yang menerbitkan buku soal jawab, yang isinya adalah pertanyaan dan jawaban mengenai hukum Islam yang membahas berbagai masalah. Organisasi-organisasi Islam juga menerbitkan buku-buku himpunan fatwa, yang berisi bahasan mengenai soal-soal hukum Islam. Kaum Nahdhiyin mempunyai Al-Ahkamul Fuqoha, dan kaum Muhammadiyin mempunyai Himpunan Putusan Tarjih. Buku Ustadz Hassan dari Persis, Soal Jawab, dibaca orang sampai ke negara-negara tetangga.
Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan al-Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada kompisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.
Jika kita melihat kepada perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara di masa lampau, upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-hukumnya, nampak mendapat dukungan yang besar, bukan saja dari para ulama, tetapi juga dukungan penguasa politik, yakni raja-raja dan para sultan. Kita masih dapat menyaksikan jejak peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata hukum Islam di masa lalu di Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa. Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat yang begitu penting bagi hukum Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam— setidak-tidaknya di bidang hukum keluarga dan hukum perdata — sebagai hukum positif yang berlaku di negerinya. Kerajaan juga membangun masjid besar di ibukota negara, sebagai simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara mereka.

BAB II
RUMUSAN MASALAH
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwasanya kita harus memperdalam lagi mengenai perkembangan hukum Islam di Indonesia, maka pemakalah memetakan pembahasan sebagai berikut:
1) Sejarah masuknya Islam di Indonesia
2) Sejarah perkembangan Hukum Islam di Indonesia
3) Konsep Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

BAB III
PEMBAHASAN

1. SEJARAH ISLAM MASUK KE INDONESIA
Pada abad 7 masehi, Islam sudah sampai ke Nusantara. Para Dai yang datang ke Indonesia berasal dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang telah beradaptasi dengan bangsa Cina, dari berbagai arah yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan) dakwah mulai merambah di pesisir-pesisir Nusantara.
Dalam hal ini Azyumardi Azra dalam jatingan ulama’ timur tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, paling tidak ada 3 teori sumber masuknya Islam di Indonesia, di antaranya adalah:
 Dalam teori ini menyebutkan Islam berasal dari Arab (Hadramaut). Dan masuik ke wilayah Indonesia khususnya Aceh pada aabad ke-1 H/ 7M. bukan pada abad 12/13M . bukti terjadinya Islamisasi ini adalah saudagar Arab di Pelabuhan Nusantaraa. Dan diperkuat lagi oleh Abdul Rahman Haji Abdullah yang juga mengatakan adanya kontak dagang kapur barus anatara penduduk Nusantara dengan saudagar Arab pada abad ke-7. hal ini diperkuat dengan maraknya jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui selat Malaka yang menghubungkan dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan bani Umayah di Asia Barat sejaka abad VII.
Teori ini agaknya hanya didasarkan pada keinginan para sejarawan Islam yang ingin memastikan bahwa Islam yang asli dan Otentik, bukan perival dan sinkretis, sebagaimana yang sering dinyatakan oleh para penulis barat. Selain itu teori ini gagap untuk memberi kontinum dan jawaban pasti tentang proses konversi agama dan islamisasi di Nusantara ini. Dalam arti para pedagang ini datang ke Nusantara semata-mata hanya untuk berdaagang perannya tidak mungkin berubah atau berganda sekaligus melakukan dakwah agama.
 Islam datang di Kepulauan Melayu-Indonesia adalah anak Benua India selain Arab dan Persia. Teori ini dikemukakan oleh Pijnappel dari Belanda. Dia mengaitkan asal-usul Islam di Indonesia (Nusantara) ke kawasan Gujarat dan Malabar dengan alas an bahwa orang-orang Arab bermazhab syafi’iyyah bermigrasi dan menetap di daerah-daerah tersebut yang kemudian membawa Islam ke Indonesia.
Teori ini kemudian direvisi oleh Snouck Hurgronje yang menyatakan bhawa ketika Islam memperoleh pijakan yang kuat di kota-kota pelabuhan India Selatan, sejumlah muslim Dhaka banyak yang hidup disana sebagai perantara dalam perdagangan antara Timur Tengah dan Nusantara datang di Kepulauan Melayu sebagai penyebar Islam pertama. Berikutnya Hurgronje berteori bahwa mereka diikuti oleh orang-orang Arab, terutama yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw. dengan memakai gelar Syarif dan Sayyid, yang menjalankan dakwah Islam, baik sebagai para ustadz atau sulthan. Walaupun secara eksplisit tidak dijelaskan bagian mana dari India Selatan yang dilihat sebagai sumber Islam di Indonesia. Meskipun demikian, dia berpendapat bahwa abad XII merupakan waktu yang paling mungkin bagi awal masuknya Islam di Kepulaauan Melayu-Indonesia.
Selain itu Moquette menyimpulkan bahwa asal-usul Islam di Nusantara adalah Gujarat di pesisir Selatan India. Hal ini didasarkan pada pertimbangan batu nisan yang ditemukan di Pasai, Cambai, Sumatera Utara khususnya yang bertanggal 17 Dzulhijjah 831 H/ 27 September 1428 M.
 Sumber Islam adalah Benggali (Bangladesh). Hal ini dikemukakan oleh Fatimi. Dia berpendapat bahwa pada dasarnya batu nisan tersebut lebih mirip dengan batu nisan yang ada di Benggali. Bahkan dia juga berpendapat bahwa semua batu nisan tersebut diimpor dari Benggali. Teori ini semakin lemah karena ternyata mazhab hukum yang dominan di Benggali adalah Hanafi bukan Syafi’i.
Begitulah Islam pertama-tama disebarkan di Nusantara, dari komunitas-komunitas muslim yang berada di daerah-daerah pesisir berkembang menjadi kota-kota pelabuhan dan perdagangan dan terus berkembang sampai akhirnya menjadi kerajaan-kerajaan Islam dari mulai Aceh sampai Ternata dan Tidore yang merupakan pusat kerajaan Indonesia bagian Timur yang wilayahnya sampai ke Irian jaya.
2. SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
1. Hukum Islam Pada Masa Kerajaan Islam Nusantara
Proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan melalui jalur perdagangan dan perkaawinan, secara tidak langsung telah memberikan andil bagi tersosialisasinya hukum Islam di tengah-tengah masyarakat. Interaksi dan asimilasi tersebut merupakan proses awal keberhasilan pembumian hukum islam. Kontak perdagangan menjadi sangat efektif, karena pendekatan ini dapat mengakses seluruh warga yang secara ekonomis membutuhkan bahan-bahan pokok sehari-hari.
Pada masa ini hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna (syumul), mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah.
Hukum Islam juga menjadi sistem hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam nusantar. Tidaklah berlebihan jika dikatakan pada masa jauh sebelum penjajahan belanda, hukum islam menjadi hukum yang positif di nusantara.
Pada abad 13 Masehi ada fenoma yang disebut dengan Wali Songo yaitu ulama-ulama yang menyebarkan dakwah di Indonesia. Wali Songo mengembangkan dakwah atau melakukan proses Islamisasinya melalui saluran-saluran:
• a) Perdagangan
• b) Pernikahan
• c) Pendidikan (pesantren)
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang asli dari akar budaya indonesia, dan juga adopsi dan adaptasi hasanah kebudayaan pra Islam yang tidak keluar dari nilai-nilai Islam yang dapat dimanfaatkan dalam penyebaran Islam. Ini membuktikan Islam sangat menghargai budaya setempat selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
• d) Seni dan budaya
Saat itu media tontonan yang sangat terkenal pada masyarakat jawa kkhususnya yaitu wayang. Wali Songo menggunakan wayang sebagai media dakwah dengan sebelumnya mewarnai wayang tersebut dengan nilai-nilai Islam. Yang menjadi ciri pengaruh Islam dalam pewayangan diajarkannya egaliterialisme yaitu kesamaan derajat manusia di hadapan Allah dengan dimasukannya tokoh-tokoh punakawam seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.
Para Wali juga menggubah lagu-lagu tradisional (daerah) dalam langgam Islami, ini berarti nasyid sudah ada di Indonesia ini sejak jaman para wali. Dalam upacara-upacara adat juga diberikan nilai-nilai Islam.
• e) Tasawwuf
Kenyatan sejarah bahwa ada tarikat-tarikat di Indonesia yang menjadi jaringan penyebaran agama Islam.
Selanjutnya ulama-ulama sangat berperan dalam pengembangan ajaran Islam seperti Nuruddin Ar-Raniri dengan karyanya dalam bidang hukum Islam dengan judul “Shiratal Mustaqim” pada tahun 1628. kitab ini menurut Hamka merupakan kitab yang pertama kali disebarkan ke seluruh Indonesia. Selebihnya Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710-1812M) mengatakan dalam mukaddimah karya monumentalnya “Sabilal Muhtadin” yang merupakan penjabaran kitabnya Syekh Nuruddin bahwa kitab “Shirathal Mustaqim” ini adalah kitab fiqh yang paling bagus yang ada di Nusantara. Yang kemudian kitab Sabilal Muhtadin menjadi pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di daerak Kesultanan Banjar.
Selanjutnya hukum Islam juga berhasil ditemukan di Kesultanan Padang dan Banten. Bahkan kesultanan ini juga menerbitkan beberapa kitab hukum Islam yang ditulis oleh Syekh Abdus Samad dan Syekh Nawawi Al-Bantani. Selain itu juga ada beberapa kerajaan yakni Demak, Mataram, Tuban, Gresik, Ngampel. Selain itu juga ada ditemukan sebuah karya yang berjudul Sajinatul Hukum. Ini merupakan fakta yang memperkuat dugaan bahwa hukum Islam sudah berlaku sebelum kolonial Belaanda menjajah Indonesia.
Bukti nyata berlakunya hukum Islam di tengah-tengah masyarakat pada masa ini adalah adanya tradisi tahkim (mengangkat orang sebagai penengah) apabila ada sebuah permasalahan. Dan bersamaan dengan menguatnya komunitas muslim yang ditandai dengan hadirnya kerajaan-kerajaan Islam, maka kebijakan dari Sultan dalam implementasi hukum dilimpahkan kepada pembantu urusan agama, seperti para hakim atau ulama yang telah diangkat. Selain itu pada masa ini banyak juga digunakan gelar-gelar yang masih bersangkutan dengan agama Islam.
2. Hukum Islam Pada Masa Penjajah/ Kolonialisme
Intervensi colonial Belanda di akhir abad 16 ditandai dengan datangnya organisasi dagang Belanda VOC pada tahun 1596. kedatangan mereka secara sosiologis, terkesan memiliki misi ganda, yakni ekonomi dan agama. Walaupun dalam misi keagamaannya dibungkus dengan misi ekonomi mereka. Hal ini terbukti dengan terlibatnya para pastur-pastur agama Kristen dalam misi dagang dan ekonominya.
Walaupun demikian pada waktu permulaam, VOC masih membiarkan berbagai lembaga yang telah berdiri sebelumnya. Hal ini bertujuan agar tidak ada perlawanan dari masyarakat. Bahkan Belanda juga masih mengakui apa yang telah berlaku sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, seperti hukum keluarga Islam, perkawinan, waris dan wakaf. Bahkan pada pertengahan abad XIII pemerintah Belanda juga berusaha untuk menyusun buku-buku Islam sebagai pegangan hakim-hakim pengadilan dan pejabat pemerintahan. Bahkan dalam Statua Jakarta 1642 hukum kekeluargaan diakui dan diterapkan dengan peraturan resolutie der Indiesche regeering pada 25 Mei 1760 sebagai aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Atas perkembangan ini maka dikenal beberapa Conpedium yang disusun oleh pejabat-pejabat Belanda dari pakae hukum, misalnya Compendium Van Clookwijk oleh Gubernur Sulawesi (1752-1755) dan Compendium freijer yang dilakukan oleh gubernur jendral Jacob Massel (1750-1761).
Dan sejak tahun 1800 para ahli hukum telah mengakui bahwa hukum islam memang telah dipegang oleh mayoritas masyarakat. Karena pada pada waktu itu semua permasalahan dirujukan pada hukum islam. Bahkan setelaah VOC bubar dan telah menjadi sebuah pemerintahan jajahan, kedudukan hukum islam masih belum bisa diganggu gugat oleh para colonial. Sehingga dari sini seorang sarjana Belanda bernama Van den Berg berkesimpulan bahwa pada masa penjajahan Belanda, yang beragama Islam berlaku teori reception in complexu. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah masa ini Belanda memahami hukum Islam hanya sebatas ibadah dan hal-hal yang berkait dengan ritualitas belaka. Dan legislasi hukum Islam terlihat sampai pada akhir abad ke-19 yakni dengan dikeluarkannya staatablad No.152 tahun 1882 tentang Peradilan Agama di Jawa dan madura.
Akan tetapi setelah itu, banyak orang-orang Belanda yang berharap untuk menghilangkan pengaruh Islam dari Nusantara dengan proses kristenisasi. Sehingga mereka mulai beranggapan bahwa sebenarnya Islam menjadi penghambat gerakan kolonialisme karena Islam memiliki ajaran anti penjajah, ironisnya mereka menganggap bahwa agama Islam merupakan agama yang sesat dan merupakan hukum warisan jahiliyah. Berdasarkan alasan-alasan tersebutlah mereka mulai berupaya secara sistematis untuk membendung perkembangan agama islam dan melemahkan kekuatan umat islam dari tanah jajahan mereka. Sejak saat itu pula pemerintah colonial berupaya untuk membentuk hukum belanda untuk menggantikan hukum islam yang telah berlaku pada masa kerajaan.
Dan dalam menjalankan misi kolonialisme ini pemerintah menyusun strategi sistematis dan terencana membentuk sebuah komisi yang diketuai oleh Mr. Scholten Van oud Haarlen sebagai upaya penyesuaian Undang-undang Belanda itu dengan keadaan di Belanda. Walaupun muncul keresahan mereka akan tetapi mereka masih tidak diperbolehkan untuk mencampuri urusan agama. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit para colonial mulai mencampuri bahkan membatasi para jamaah haji, karena pada jamaah haji setelah pulang dari Mekkah mereka akan mendapat pengetahuan yang lebih untuk menentang orang-orang kafir.
Dari sini mulailah terjadi intervensi para colonial terhadap hukum islam, bahkan para colonial mengangkat seorang staf ahli yang bernama Snouck Hurgronje pada tahun 1889. staf tersebut diberi tugas untuk mempelajari hukum islam dan segala sesuatu yang bersangkutan dengan Islam, bahkan Snouck juga pernah tinggal di Makkah. Dan sebelum itu tepat tahun 1859, gubernur Jendral H. Aqib Suminto telah dibenarkan untuk mencampuri masalah agama dan bahkan mengawasi gerak-gerak para ulama’.
Dari sini terlihat jelas bahwanya para colonial berusaha untuk tidak memberlakukan hukum islam, dan ingin memberlakukan hukum barat (unifikasi). Walaupun pada akhirnya politik seperti itu dibatalkan para colonial, karena merasa hal itu bisa membangun sebuah kebencian pada masyarakat, sehingga mereka mengganti politik mereka dengan cara yang lebih halus, yakni dengan membentuk opini dan mempengaruhi serta mengacaukan image mereka terlebih dahulu dengan melahirkan teori receptie yang sengaja dihembuskan untuk mengacaukan dan melakukan perubahan-perubahan terhadap hukum islam.
Dan sebenarnya muatan poko dari teori ini adalah devide at impera yang bertujuan untuk menghambat dan menghentikan meluasnya hukum islam dan juga membentuk hukum tandingan yang mendukung politik pecah belah pemerintah colonial. Dan semuanya itu berhasil diterapkan sampai sekarang, karena sekarang ini hukum islam mengalami ketidakberuntungan di negeri ini.
Setelah adanya keputusan tersebut, maka banyak sekali terjadi perubahan-perubahan mengenai pasal-pasal dan juga wewenang pengadilan, seperi contohnya yakni dirubahnya pasal 134 (2) menjadi: “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesame orang islam akan diselesaikan oleh hakim agama islam apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adapt mereka dan sejak tidak ditentukan lain oleh ordinantie”. Dan dampak dari pasal ini adalah wewenang peradilan-peradilan menjadi semakin sempit. Dan pemindahan hukum waris terhadap hukum Negara.
Setelah adanya intervensi dan usaha-uasaha untuk meniadakan hukum islam, umat islam melakukan berbagai reaksi mereka dengan gerakan-gerakan untuk melawan mereka. Seperti halnya MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang pada tahun 1938 melakukan protes mengenai hal waris yang dialihkuasakan terhadap pengadilan negeri. Selain itu sejak diberlakukannya kebijakan-kebijakan di atas, eksistensi hukum islam secara formal, benar-benar mengalami kondisi yang amat memprihatinkan. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kegiatan intelektual pengembangan hukum islam mengalami stagnasi. Sekitar abad ke-19 M, tokoh yang dapat diangkat adalah Syekh Nawawi Al-Bantani (1813-1879) dengan mengeluarkan berbagai tulisan tentang hukum islam.
Selain colonial Belanda, sejak 8 Maret 1942 Indonesia dijajah kembali oleh Jepang. Dan dari aspek perkembangan hukum islam pada masa ini setidaknya dapat dilihat dari keberadaan Pengadilan Agama. Dan pada masa penjajahan Jepang ini, pengadilan agama sudah mulai terancam. Karena pada masa ini para ahli-ahli hukum Indonesia memikirkan untuk menghapus pengadilan agama. Pemikiran ini muncul dari Soepomo penasehat Departemen Kehakiman ketika itu dan ahli hukum adapt. Bahkan ia setuju agar hukum islam tidak berlaku dan ingin menegakkan hukum adapt.
Jadi dapat disimpulkan bahwasanya pada maasa ini hukum islam mengalami sebuah serangan dari hukum adapt. Dan teori receptie ini memiliki pengaruh yang sangat besar bahkan telah menguasai pikiran hukum Islam Indonesia dan teori ini masih berpengaruh sampai decade ke-90. hingga pada akhir masa penjajahan kondisi hukum Islam berada pada posisi yang tidak pasti, selain dipengaruhi oleh kepentingan kolonialisme juga disebabkkan karena dalam wilayah ini tidak ada satupun hukum Islam yang mampu mengakomodasi pluralitas hukum yang ada di masyarakat. Dan hukum Islam sendiri masih terpenggal-penggal belum kohesif. Sehingga hukum Islam gagap ketika harus berhadapan dengan hukum adapt dan Belanda.
3. Hukum Islam di Era Kemerdekaan
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, para pemuka-pemuka Islam sebenarnya telah memperjuangkan hukum islam agar bisa diberlakukan di Indonesia dengan diwarnai sebuah perdebatan oleh para BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Hal itu terbukti dengan adanya piagam Jakarta 22 Juni 1945 disepakati bahwa Negara berdasarkan kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya. Walauoun pada akhirnya diganti dengan kalimat “yang Maha Esa”. Selanjutnya kondisi hukum Islam terbagi menjadi beberapa bagian, yakni:
Masa Soekarno (Orde Lama)
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, atas usulan menteri Agama yang disetujui menteri kehakiman pemerintah menetapkan bahwa Peradilan Agama dipindahkan dari kekuasaan Kementerian kehakiman kepada kementerian Agama dengan ketetapan Pemerintah no 5 s/d tanggal 25 Maret 1946.
Setelah adanya proklamasi, kedudukan hukum islam tidak diubah dan masih berfungsi sebagai hukum khusus bagi orang islam di bidang tertentu. Kedudukan tersebut diwujudkan melalui ketentuan bahwa Republik Indonesia adalah Negara berdasarkan sila ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini juga diperkuat dengan adanya pasal 29 (1) UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan para penduduknya untuk melakukan agamanya masing-masing dan untuk beribadat sesuai dengan hukum agamanya masing-masing. Dan UUD 1945 menggariskan bahwa Indonesia bukan Negara yang sekuler dalam artian Indonesia bukan Negara Islam.
Kepastian hukum islam dimulai dengan UU NO.22/1946 yang mengatur pencatatan nikah, talak, dan rujuk untuk orang islam dan mencabut peraturan Belanda yang tidak jelas. Bahkan UU No. 22/1946 mengandung jadwal penyusunan Kompilasi hukum Islam. Akan tetapi semakin berjalan waktu pemerintahan Republik Indonesia kemudian mengurangi kedudukan hukum islam dan Pengadilan Agama dengan UU No.1/1974 tentang perkawinan. Dan UU ini berlaku pada semua masyarakat.
Pada perkembangan berikutnya, hukum Islam dalam bentuk lembaga mendapatkan legislasi yang kuat dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang-undangan. Seperti halnya keputusan Menteri Agama No. 6 tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980 tentang penyeragaman nama lembaga peradilan menjadi sebutan Pengadilan Agama.
Masa Soeharto (Orde Baru)
Pada masa ini eksistensi hukum islam diakui dalam rangka ius constitutuum. Dengan ditetapkannya UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan sebagainya.
Selanjutnya pada masa orde baru, hukum Islam mengalami pasang surut. Hal ini dikarenakan modernisasi pembangunan yang dijalankan oleh rezim Orde baru. Bahkan hukum islam tidak pernah terjadi kebijaksanaan tersendiri secara khusus. Bahkan dalam teks hukum Orde baru, tidak ada singgugan dengan eksistensi hukum Islam. Walaupun begitu, bukan berarti hukum Islam tidak mendapat perhatian. Dalam kenyataannya hukum Islam mempunyai tempat dalam tata hukum Nasioanal, walaupun dengan sebuah ketidaktegasan.
Walaupun kondisinya seperti itu, tapi masih ada upaya-upaya untuk memperjuangkan hukum Islam. Hal ini ditunjukan oleh KH. Mohammad Dahlan, seorang Meneri Agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan rancangan undang-undang perkawinan umat Islam dengan dukungan kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui peradilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya-menurut Hazairin-hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Dan penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU No.14 tahun 1989 tentang Peradilan Agama ditetapkan. Selanjutnya pada masa ini hukum Islam diserahkan kepada Departemen Agama. Hukum Islam sebagai hukum positif diberlakukan pada masa orde baru pertama kali dalam UU No.1/1974 pasal 2 (1), walaupun hal tersebut masih bersifat universal bukan murni hukum Islam. Pengakuan ini kemudian diteruskan melalui penetapan pasal 10 UU No.14 tahun 1970, yang isinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Agama adalah agama islam dengan pengkhususan Pengadilan Agama.
Selanjutnya permasalahan yang muncul adalah walaupun pada masa ini hukum Islam sudah struktur hukum Nasional, namun dalam aspek hukum materiil masih belum sepenuhnya mendapatkan politicial will dari aparatur Negara, masih berada di persimpangan jalan, dan wilayah hukumnya masih sangat terbatas, tidak sebanding dengan kapabilitas hukum Islam yang sesungguhnya.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwasanya posisi hukum Islam sudah layak, namun kelayakannya hanya pada taraf pengukuhan adanya hukum islam atau hanya legislasi saja. Sehingga setelah runtuhnya rezim orde baru, maka muncullah tuntutan dan aspirasi sebagian Kelompok Islam untuk memformalkan Piagam Jakarta atau Syariat Islam.
Selanjutnya pada masa reformasi semua orang sudah berani untuk meneriakkan demokrasi. Setelah melalui perjalanan yang panjang, pada akhirnya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Selanjutnya lahirnya ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan tata urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum islam. Terutama pada pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia. Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syariat Islam Nomor 11 tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi system hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaharuan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan system hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukun Nasional kita.
Pada dasarnya kondisi hukum Islam sejak UU No.1 tahun 1974 sendiri telah digolongkan terhadap teori Receptie Contrario yakni hukum adapt yang tidak sejalan dengan kekuatan hukum islam harus dikeluarkan, dilawan ataupun ditolak. Dan ini merupakan sebuah perkembangan yang berarti. Dan mengenai kondisi hukum Islam di Indonesia sekarang ini, Daud Ali memilah hukum Islam di Indonesia menjadi dua:
1. Hukum Islam yang berlaku secara formal Yuridis yaitu hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia atau sering disebut dengan hukum perdata.
2. Hukum Islam yang bersifat normative, yang mempunyai sanksi dan padanan masyarakat, ini biasa berupa ibadah murni atau hukum pidana.
Dan sekarang ini hukum-hukum Islam telah dikompilasikan menjadi sebuah kesatuan hukum Islam yang memiliki kekuatan hukum. Dan hal itu sering disebut dengan KHI (Kompilasi Hukum Islam).
4) Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia
Seperti yang telah disinggung sedikit di atas bahwasanya KHI merupakan salah satu upaya untuk selalu menjaga eksistensi hukum Islam di Indonesia. Secara formal KHI telah disahkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991. kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama RI No.154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991. KHI sendiri merupakan puncak pemikiran fiqh dari perguruan tinggi, dari masyarakat umum dan diperkirakan dari semua lapisan ulama fiqh ikut dalam pembahasan, sehingga patut dinilai sebagai ijma’ ulama Indonesia.
Dan sebagai ijma ulama Indonesia, KHI diharapkan dapat menjadi pedoman para hakim dan masyarakat seluruhnya dalam praktek kehidupan. Dan pada hakikatnya, KHI secara substansial telah menjadi sebuah hukum positif dan diakui keberadaannya dalam sepanjang sejarahnya. Karena sebenarnya kompilasi ini hanya merupakan sebuah kodifikasi dan unifikasi dari kitab-kitab fiqh menjadi sebuah Kompilasi Hukum Islam.
Adapun tujuan perumusan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah menyiapkan pedoman yang seragam bagi hukum pengadilan tinggi dan juga menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam. Dengan demikian tidak ada lagi kesimpangsiuran keputusan Pengadilan Agama. Karena memang dalam kenyataannya, sering terjadi kasus yang sama, akan tetapi keputusannya berbeda. Ini akibat dari referensi hakim kepada kitab-kitab fikh yang berbeda.
Adapun bahasan mengenai hukum islam yang tercakup dalam kompilasi hukum islam sebagaimana tertera dalam instruksi presiden adalah sebagai berikut :
a. Buku 1 tentang hukum perkawinan
b. Buku 2 tentang hukum kewarisan
c. Buku 3 tentang hukum perwakafan
Sedangkan sumber rujukan Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:
1. kitab-kitab fiqh yang dibakukan melalui surat edaran biro peradilan Agama No.B/I/735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai tindak lanjut PP No.45 tahun 1957 kepada para hakim Peradilan Agama, ditambah kitab-kitab fiqh modern yang berjumlah 38 buah, di antaranya adalah Al-Bajuri, Fath Al-Mu’in dan syarahnya, dsb.
2. Wawancara dengan para ulama di seluruh Indonesia. Acuan yang digunakan, adalah: pertama, ulama yang terdiri dari unsur organisasi social dan keagamaan. Kedua, ulama-ulama yang berpengaruh di luar unsur organisasi social keagamaan, untuk menghimpun fiqh yang hidup dan dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat.
3. Yurisprudensi dan kumpulan fatwa peradilan agama terdiri dari 15 buku.
 Himpunan putusan PA/PTA 3 buku, terbitan tahun 1978/1979, 1979/1978, 1978/1979, dan 1980/1981.
 Himpunan fatwa terdiri dari 3 buku, terbitan tahun 1978/1979, 1979/1980, dan 1980/1981.
 Yurisprudensi peradilan agama terdiri dari 5 buku, terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979, 1981/1982, 1982/1983, dan 1983/1984.
 Law report, terdiri dari 4 buku, terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979, 1981/1982, dan 1983/1984.
4. Hukum Islam yang dipraktekkan di Negara-negara muslim di Timur Tengah. Cakupannya meliputi system peradilan, masuknya hukum syari’ah dalam hukum nasional, sumber hukum dan hukum materiil yang menjadi pegangan dalam hukum keluarga.

BAB IV
PENUTUP
Demikianlah pemaparan pemakalah mengenai sejarah perkembangan Hukum Islam di Indonesia. Pastinya dalam makalah ini banyak kekeliruan dan kekurangan. Sehingga masukan yang konstruktif guna menjadikan makalah ini menjadi lebih sempurna. Dan semoga makalah ini membawa banyak manfaat baik bagi pembaca maupun bagi pemakalah. Amin, wallahu a’lamu bish-shawab.

BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Haji Abdul Rahman. Pemikiran Umat Islam Di Indonesia: Sejarah Dan Perkembangan Hingga Abad Ke-19. 1990. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa Dan Pustaka.
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. 1992, Jakarta : Akademika Pressindo.
Almunawwar, Said Agil Husain. Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial, 2004, Jakarta : Permadani.
Ali, Muhammad Daud dan Habibah Daud. 1995. Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia. Jakarta : Rajawali Press.
Ash-Shiddiqie, Jimly. Hukum Islam Dan Reformasi Hukum Nasional, makalah seminar penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional. Jakarta, 27 September 2000.
Fuad, Mahsun. 2005. Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisitoris hingga Emansipatoris. Yogyakarta : LKIS.
Halim, Abdul. Politik Hukum Islam Di Indonesia. 2005. Ciputat : Ciputat press.
Rofiq, Ahmad. 2001. Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media.
Sirajuddin. 2008. Legislasi Hukum Islam Di Indonesia. Bengkulu : Pustaka Pelajar.
Syaukani, Imam. 2006. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
http//Sejarah_Indonesia.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar