Cari Blog Ini

Senin, 10 Januari 2011

MEMAHAMI HADIS HISAB DAN RUKYAH

MEMAHAMI HADIS HISAB DAN RUKYAH

A. Iftitah
Ketika bulan itu terlihat bulat penuh (memasuki fase bulan purnama), maka bentuk yang demikian itu menjadi tanda pertengahan bulan, kemudian setelah fase bulan purnama ini, bentuk bulan mengecil dari fase sebelumnya, dan setelah memasuki fase selanjutnya, bentuk bulan menjadi tidak kelihatan dari pandangan mata kita di bumi, hal ini terjadi karena posisi bulan yang berada pada arah yang sama terhadap matahari, bagian bulan yang terkena sinar matahari itu membelakangi bumi dimana kita berada. Dengan demikian, bagian bulan yang menghadap kita semuanya gelap . karena perubahan fase bulan yang seperti itu serupa dengan perjalanan cinta yang dulunya rasa kasih serta sayang itu besar kemudian mengecil atau yang dulunya kecil kemudian menjadi besar. Nah, setelah cahaya bulan itu pudar, cahaya bulan itu akan kembali muncul menjadi bulan sabit (cressent) setelah terjadinya konjungsi.
Penentuan waktu-waktu beribadah dalam agama islam didasarkan kepada pergerakan bulan dan matahari, pergerakan matahari menjadi acuan dalam mengetahui awal dan akhir waktu shalat. Sementara bulan itu menjadi acuan dalam menentukan awal bulan kamariah. hal itu kalau kita tinjau dari segi agama islam, adapun peranan bulan dan matahari bagi orang-orang terdahulu adalah sebagai pengatur waktu dalam interaksi hidup mereka.
Dalam memahami hadis Nabi yang berkenaan dengan puasa umat muslim tidak berbeda pendapat akan wajibnya hal itu, namun kenyataannya mereka sekarang berbeda pendapat mengenai masalah mathla’ dengan adanya konsep “Rukyah Global” yang apabila satu Negara melihat hilal di depan mata, maka hal itu telah menunjukkan wajibnya umat muslim sedunia untuk berpuasa. Padahal kalau kita telusuri, apakah ada di zaman Rasulullah fenomena semacam ini terjadi? Hal apakah yang membuat penganut mazhab Rukyah Global ini mempertahankan pendapatnya?

B. Komponen Masalah
Beragam masalah yang timbul dari hadis tentang hisab dan rukyah yang akan kita bahas bersama antara lain adalah:
 Pengertian hisab dan rukyah
 Kriteria awal bulan Qamariah menurut ormas islam di Indonesia
 Pemahaman hadis dalam dunia hisab dan rukyah
 Peran penting Nayyirain (matahari dan bulan) dalam beribadah
 Perbedaan dalam memahami hadis tentang mathla’
 Kaitan antara hilal dan rukyah
 Dasar hukum beragamnya penganut ijtimak

C. Pembahasan
1. Pengertian Hisab dan Rukyah
Rukyah adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal setelah terjadinya ijtima’ (konjungsi). Aktivitas ini dapat dilakukan oleh siapa saja dengan mata telanjang, teropong atau dengan alat Bantu lainnya. Apabila hilal telah dapat dilihat, maka pada petang (magrib) waktu setempat sudah memasuki bulan baru hijriah. Sedangkan hisab adalah perhitungan secara matematis astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender hijriah.
2. Kriteria Awal Bulan Menurut Beberapa Ormas Islam Indonesia
Dalam menetapkan tanggal satu Ramadhan sering terjadi perbedaan antara Muhammadiyah dan NU, juga pemerintah. Muhammadiyah dengan dasar hisab wujud al- hilal yang meskipun secara “hisab” juga dapat diketahui bahwa hilal belum dapat dilihat, jauh-jauh hari sudah berani menetapkan dan memberitahukannya kepada masyarakat.
Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Menteri Agama, menggunakan sistem hisab dan imkanurl-rukyah atau perhitungan dan kemungkinannya hilal dapat dirukyah, jadi, hisab tetap dipakai, tetapi karena secara “hisab” hasil perhitungan ijtima’ (konjungsi) berkisar -0˚ 34’ untuk Merauke dan +0˚ 31’untuk Sabang, juga tidak mungkin atau sangat sulit dilihat, maka tetap menunggu rukyah.
Nahdhatul Ulama’ (NU) yang dikenal dengan sistem rukyahnya, kenyataannya tidak bisa meninggalkan hisab. Bahkan mungkin banyak memiliki para pakar dan ahli hisab. Karena untuk melaksanakan perintah rukyah, para ulama melakukan hisab terlebih dahulu, untuk mengetahui seberapa tinggi hilal pada saat ijtima’ (konjungsi). Sebagaimana penegasan Rasulullah SAW:
صوموﺍ لرﺅيته ﻭﺃﻔﻁﺭﻭا لرﺅيته ﻔﺈﻥﻏﻡ ﻋﻠﻴﮑﻡ ﻔﺄﻜﻤﻠﻭﺍ ﻋﺩﺓ ﺸﻌﺒﺎن ﺜﻼﺜﻴﻥ
(ﺭواهﺍﻠﺒﺨﺎﺭﻯوﻤﺴﻠﻡ)
Artinya: “Berpuasalah kalian karena melihat (ru’yah) hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Maka jika ia tertutup awan bagimu, maka sempurnkanlah bilangan Sya’ban tiga puluh.” (HR.Bukhori dan Muslim)
Banyak perbedaan pemahaman terhadap hadits di atas. Hal inilah yang menjadi akar lahirnya mazhab-mazhab dalam penetapan awal bulan Qamariah. Tapi jika kita analisis lebih dalam, hadits diatas dapat dipahami dan kita jadikan patokan dalam mengawali atau mengakhiri bulan kamariah. Karena masalah ini terkait dengan persoalan ibadah maka nilai kepatuhan (ta’abbud) itu terletak pada ketaatan atas suatu perintah. Karena itu, jika hadits diatas merupakan hadis qauli (ucapan) Rasulullah SAW, maka peringkat akurasi keshahihannya tidak diragukan lagi. Di sisi lain kualifikasinya shahih dan besar kemungkinan derajat hadis ini mutawatir, karena hampir semuanya termasuk dalam sembilan kitab hadis (Al-Kutub al-Tis’ah).
3. Pemahaman Hadis Tersohor Dalam Dunia Hisab Rukyah
Rasulullah SAW bersabda:
صوموﺍ لرﺅيته ﻭﺃﻔﻁﺭﻭا لرﺅيته ﻔﺈﻥﻏﻡ ﻋﻠﻴﮑﻡ ﻔﺄﻜﻤﻠﻭﺍ ﻋﺩﺓ ﺸﻌﺒﺎن ﺜﻼﺜﻴﻥ
(ﺭواهﺍﻠﺒﺨﺎﺭﻯوﻤﺴﻠﻡ)
Artinya: “Berpuasalah kalian karena melihat (ru’yah) hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Maka jika ia tertutup awan bagimu, maka sempurnkanlah bilangan Sya’ban tiga puluh.” (HR.Bukhori dan Muslim)
Dalam hadits tersebut digunakan kata kerja perintah (fi’il amar) “صوموﺍ” (berpuasalah) dan “ﻭﺃﻔﻁﺭﻭا” (berbukalah atau berlebaranlah) dan indikasi (qarinah)-nya “لرﺅيته” (karena melihat bulan). Dalam kajian Ushul Fiqh, “melihat bulan” ini disebut dengan sebab. Dan kata “صوموﺍ”dan “ﻭﺃﻔﻁﺭﻭا” ini secara umum ditujukan untuk umat muslim seluruhnya. Para ulama’ sepakat bahwa “perintah itu menunjukkan suatu kewajiban” (al-ashl fi al-amar li al- wujub). Dan perintah hadits itu ditujukan pada seluruh umat Islam di dunia. Namun pelaksanaan rukyahnya tidak diwajibkan kepada seluruhnya bahkan mungkin hanya perseorangan.
Secara lahiriah hadits di atas menunjukkan bahwa perintah melakukan rukyah itu ditujukan bagi setiap umat Islam. Namun dalam realitasnya tidak demikian, tidak semua orang muslim memulai puasa dengan melihat hilal terlebih dahulu, bahkan mayoritas orang berpuasa berdasarkan pada berita tentang terlihatnya hilal dari orang lain. Dengan kata lain, berdasarkan seseorang atau beberapa orang yang mengaku melihat hilal.
Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa sabda Rasuluulah SAW itu tidaklah mewajibkan rukyah untuk setiap orang yang hendak memulai puasa Ramadhan. Akan tetapi, hanyalah ditujukan kepada salah seorang atau sebagian orang dari mereka. Rukyah hilal cukup dilakukan oleh seseorang yansliming adil, demikian pendapat jumhur ulama’. Pendapat lain mengharuskan dua orang yang adil.
As-San’ani mengatakan, bahwa menurut lahirnya hadits itu mengisyaratkan rukyah bagi segenap orang, tetapi telah terjadi ijma’ yang menetapkan bahwa rukyah itu cukup dicapai pleh seseorang atau dua orang yang adil. An-Nawawi juga menerangkan bahwa rukyah itu cukup dicapai oleh dua orang yang adil di antara kaum muslimin tidak disyaratkan setiap orang harus melakukan rukyah.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah ru’yah di sini harus dengan mata “telanjang” atau dengan bantuan teknologi? Sementara bumi tempat manusia berada berbentuk bulat, bagaimana jika dalam rukyah dilakukan dengan bantuan pesawat dengan ketinggian tertentu yang dapat dipastikan akan melihat hilal? Belum lagi jika di dalam kenyataannya, jika hisab saja digunakan tanpa rukyah, tentu hasilnya spekulatif atau hipote. Apalagi jika standar hilal dapat dilihat sekurang-kurangnya 2 derajat. Tapi jika rukyah dilaksanakan, sudah pasti menggunakan hisab berdasarkan imkanur-ru’yah dan hasilnya memiliki tingkat akurasi yang tinggi.
Seperti juga dalam seleksi validitas hadits, dalam rukyah ke-tsiqah-an saksi (syahid) yang terpercaya, yang menyaksikan hilal dalam rukyah, menjadi “kata kunci” keabsahan rukyah dilakukan. Karena itu, di dalam menyikapi persoalan kontroversi atau khilafiah di dalam menentukan awal bulan kamariah, maka dengan merujuk kepada perintah Rasulullah SAW diatas, maka rukyah dilakukan tidak semata-mata pemahaman tekstual hadits, tetapi juga sebagai bentuk akurasi pemahaman sebab, ketika suatu perintah ibadah itu dijalankan.
Tetapi ada juga yang menyatakan bahwa perintah rukyah itu dikeluarkan Rasulullah SAW pada saat itu, karena teknologi dan sains belum maju. Jawabannya tentu saja ya, tetapi ibadah adalah ibadah, yang rumusnya secara aksiomotik adalah kepatuhan (al-ta’abbud). Sebagaimana dinyatakan Imam Abu Ishaq al-Syatiby dalam al-muwafaqat fi ushul al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, sebagai berikut “al-ashl fid al-‘ibadat bi al-nisbah ila al-mukallaf al-ta’abbud duna al-iltifat ila al-ma’any” (prinsipnya dalam urusan ibadah bagi mukallaf adalah penghambaan bukan berpaling pada rasionalisasi makna).
Menurut ulama’ kontemporer, Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adilatahu, mayoritas ulama’ menegaskan bahwa kewajiban puasa dan berbuka bagi seluruh kaum muslimin digantungkan pada rukyah secara mutlak (muthlaq al-ru’yah).
4. Implementasi Fungsi Hilal Dalam Beribadah
Hilal yang sering disebut dengan“bulan sabit”, yaitu bagian bulan yang tampak terang dari bumi sebagai akibat dari cahaya matahari yang dipantulkan olehnya pada hari terjadinya ijtima’, sesaat setelah matahari terbenam. Dan bulan sabit inilah yang menjadi acuan penetapan awal bulan kamariah dalam agama islam. Apabila setelah matahari terbenam hilal tampak, maka malam itu dan keesokan harinya merupakan tanggal satu bulan berikutnya. Dalam dunia astronomi, hilal dikenal dengan sebutan new moon atau crescent.
Hilal dalam al-Qur’an merupakan alat penunjuk waktu bagi manusia. Di dalam agama islam hilal diposisikan sebagai waktu untuk beribadah haji, memulai puasa dan mengakhirinya.Allah swt. Berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿189﴾
Artinya:”Mereka berkata kepadamu tentang bulan sabit? Katakanlah: Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al-Baqarah:189)
Dalam memahami ayat di atas, kami mengambil dua pendapat Ulama’:
a. Imam Ibnu Katsir rahimahullah
Beliau mengatakan bahwa ayat tersebut menjadi sebuah ketetapan agama dalam mengetahui waktu ‘iddah bagi wanita-wanita dan waktu haji mereka. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi saw:” Allah swt. Menjadikan hilal untuk tanda-tanda waktu bagi manusia. Maka berpuasalah (berniat puasa) karena melihatnya, dan berbukalah (berhari rayalah) larena melihatnya. Jika terhalang atasmu maka hitunglah menjadi 30 hari.”(Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dengan sanad shahih, namun tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
b. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
Allah telah menjadikan hilal sebagai tanda waktu bagi manusia pada hukum-hukum yang ditetapkan dengan syariat, seperti halnya puasa, haji, masa ‘ila, ‘iddah dan kafarat puasa. Kelima hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an. Selain itu termasuk juga puasa nadzar, hutang-piutang, zakat, jizyah, sumpah, perjanjian damai dan hukum-hukum lainnya.
Di lain tempat Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tanda-tanda waktu bagi manusia itu dibatasi dengan sesuatu yang nampak dan jelas. Bermula dari sinilah akhirnya orang mengatakan bahwa dalam menentukan awal bulan puasa harus berpegang kepada Rukyatul-hilal, bukan dengan berpegang kepada hisab. Karena melihat hilal dapat dilakukan oleh semua orang, berbeda dengan hisab yang hanya dapat diketahui oleh orang-orang tertentu.
Kemudian beliau juga merekomendasikan bahwa hilal tidak akan dinamakan hilal meski telah terbit di langit, tetapi tidak nampak dari permukaan bumi. Dinamakan hilal bila telah terlihat dan diberitahukan kepada khalayak ramai.
Adapun hadis yang mendasari wajibnya seorang muslim berpuasa dan berbuka adalah hadis Nabi saw:
صوموﺍ لرﺅيته ﻭﺃﻔﻁﺭﻭا لرﺅيته ﻔﺈﻥﻏﻡ ﻋﻠﻴﮑﻡ ﻔﺄﻜﻤﻠﻭﺍ ﻋﺩﺓ ﺸﻌﺒﺎن ﺜﻼﺜﻴﻥ
(ﺭواهﺍﻠﺒﺨﺎﺭﻯوﻤﺴﻠﻡ)
Artinya: “Berpuasalah kalian karena melihat (ru’yah) hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Maka jika ia tertutup awan bagimu, maka sempurnkanlah bilangan Sya’ban tiga puluh.” (HR.Bukhori dan Muslim)
Dalam redaksi lain Rasulullah saw. bersabda:
“Bahwasanya Rasulullah SAW menuturkan tentang bulan ramadhan, lalu beliau berisyarat dengan tangannya serta berkata sebulan itu sekian, sekian, dan sekian (dengan menekuk ibu jarinya pada kali yang ketiga), kemudian beliau berkata: “berpuasalah kalian karena melihat hilal (ramadhan), dan berbukalah kalian karena melihat hilal (syawwal), jika tertutup awan atas kalian, maka taqdirkanlah bulan itu 30 hari”.(HR. Muslim dari Ibn Umar)
Hadis Nabi saw:
“berpuasalah kamu semua karena melihat hilal (ramadhan) dan berbukalah kamu semua karena melihat hilal (syawal). Bila hilal tertutup atasmu, maka sempurnakanlah bilangan bulan sya’ban tiga puluh”.(HR. Muslim dari Abu Hurairah)
5. Menjawab Permasalahan Yang Timbul Dalam Hadis
Dari hadis-hadis di atas muncul permasalahan-permasalahan kompleks, permasalahan yang data kita ambil adalah:
 Apakah perkataan “Shuumuu” yang pernah dikatakan Rasulullah itu khitabnya untuk seluruh umat islam yang berada di seluruh penjuru dunia yang apabila salah seorang di antara mereka melihat hilal, maka seluruh umat muslim di pelosok negeri juga ikut berpuasa; atau hanya mereka yang berada dalam satu mathla’ saja yang diwajibkan berpuasa.
Perbedaan mathla’ hilal adalah perkara yang secara aksiomatik sudah diketahui, baik secara indrawi maupun secara logik. Tidak ada seorang muslim pun yang berselisih dalam hal ini. Akan tetapi, telah terjadi perselisihan di antara para ulama, apakah hal tersebut menjadi pertimbangan dalam menetapkan awal puasa Ramadhan dan hari raya, ataukah tidak?
Untuk menjawab permasalahan di atas kami mengambil beberapa pendapat para ulama’;
 Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah
Beliau mengatakan bahwa apabila seseorang berpuasa di Saudi atau di Negara lain yang memulai puasanya lebih dahulu dari pada Negara yang akan ia kunjungi, kemudian sisanya berpuasa di Negara yang ia kunjungi tersebut, maka ia harus berbuka bersama penduduk Negara tersebut meskipun lebih dari satu hari. Selanjutnya beliau berdalih dengan hadis Nabi saw:” Puasa adalah hari semua kalian berpuasa, dam berbuka adalah ketika kalian berbuka.”
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa kalau seseorang berpuasa kurang dari 29 hari karena bersafar, maka hendaklah ia menyempurnakannya, karena bulan tidak kurang dari 29 hari.
 Fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafizhahullah
Beliau juga mengatakan hal yang senada dengan pendapat Syaikh Abdullah bin Baz, yaitu Setiap muslim berpuasa dan berbuka bersama kaum muslimin di negaranya. Hendaklah kaum muslimin memperhatikan hilal di Negara tempat tinggal mereka, karena mathla’ berbeda-beda. Jika misalkan sebagian muslimin berada di Negara yang bukan islam, dan di sekitar mereka tidak ada yang memperhatikan rukyah hilal-maka dalam hal ini-tidak mengapa mereka berpuasa dengan kerajaan arab Saudi.
 Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari
Mengatakan bahwa apabila salah seorang dari penduduk negeri yang melihat hilal pergi ke negeri yang tidak melihat hilal dan kedua negeri itu berbeda mathla’ maka wajiblah mengikuti mereka dalam berpuasa pada akhir bulan sekalipun sudah cukup puasanya tiga puluh hari, karena ia berpindah ke negeri mereka maka ia menjadi salah seorang penduduknya. Dan begitu juga sebaliknya, yakni kalau seorang dari penduduk negeri yang tidak melihat hilal yang penduduk kedua negeri itu berbeda mathla’, maka wajiblah baginya menyesuaikan waktu berbuka dengan penduduk negeri itu sekalipun puasanya kurang dari dua dari tiga puluh hari, karena dengan berpindahnya ke negeri yang melihat hilal dan menjadi salah seorang penduduknya. Dan diqadhanya sehari kalau puasanya hanya dua puluh delapan hari, karena dalam satu bulan itu tidak akan terjadi hanya dua puluh delapan hari. Kalau puasanya dua puluh sembilan hari maka tidak perlu diqadha karena sebulan kadang-kadang hanya dua puluh sembilan hari.


 Prof.Dr. Muhammad Quraisy Shihab
Tidak wajib bagi kita untuk menyamakan ketetapan awal dan akhir puasa dengan kerajaan Arab Saudi, karena masing-masing Negara berbeda mathla’nya.
Dari beberapa pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hadis Nabi saw.”Shumuu” itu khitabnya hanya untuk masyarakat muslim yang mathla’nya tidak berbeda. Dan ulama telah sepakat bahwa mathla’ hilal berbeda-beda.dan hal itu diketahui secara bukti empiris dan logik. Akan tetapi mereka berselisih tentang diberlakukan atau tidak (perbedaan mathla’ tersebut) dalam memulai puasa Ramadhan dan mengakhirinya. Ada dua pendapat:
1. sebagian imam fiqih berpendapat, bahwa perbedaan mathla’ diberlakukan dalam menentukan awal dan akhir puasa.
2. sebagian mereka tidak memberlakukannya. Dan masing-masing kelompok berlandaskan Al-Qur’an, As-sunnah serta Qiyas. Dan terkadang pula antara kedua kelompok tersebut juga menngunakan dalil yang sama, seperti firman Allah, “Barang siapa di antara kalian yag menyaksikan bulan, maka berpuasalah.”(QS.Al-Baqarah:185)
Dan sabda Nabi saw,” Berpuasalah kalian dengan melihatnya, dan berbukalah dengan melihatnya.”
Perbedaan itu muncul karena perbedaan mereka dalam memahami nash-nash dan cara yang mereka gunakan dalam berisistidlal.
Sejauh penulusuran kami terhadap literatur-literatur islam, bahwa kelompok kedua inilah yang disebut dengan penganut “Rukyah Global” yang berprinsip bahwa jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk negeri yang lain harus ikut berpuasa sebagaimana penduduk negeri yang melihat hilal tersebut, dalam artian juga sama-sama memasuki bulan baru meskipun belum melihat hilal. Golongan ini berpatokan dengan melihat umumnya perintah Nabi untuk berpuasa dan berhari raya dengan melihat hilal. Menurut mereka, perintah tersebut mencakup seluruh umat islam dan di Negara manapun mereka tinggal.
Melihat hal sedemikian itu, kami lebih cenderung untuk mengatakan bahwa hilal yang dapat dilihat dari suatu Negara tidak berlaku bagi Negara lain yang berbeda mathla’ untuk mengikutinya, karena berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan di atas begitu juga kalau kita mengqiyaskan masalah ini terhadap permasalahan shalat yang jelas-jelas tidak boleh kita melaksanakan shalat Isya di Semarang pada waktu magrib dengan alasan mengikuti daerah Kalimantan Selatan yang termasuk waktu Indonesia bagian tengah.
Jadi, menurut hemat kami, penentuan awal bulan dengan kriteria “Rukyah Global” terasa rancu dalam menggunakannya, dan kriteria “Rukyatul-Hilal” yang digunakan NU serta kriteria “Imkanur-rukyah MABIMS” lebih cenderung kepada kebenaran dalam penentuan awal bulan Hijriah. Karena konsekuensi kriteria ini adalah jika bulan berhasil dilihat dengan batas minimum tinggi hilal dua derajat, maka ditetapkan sebagai awal bulan Hijriah. Tetapi jika tidak, maka memberlakukan konsep istikmal (menyempurnakan bulan 30 hari).
 Kaitan Antara Hilal dan Rukyah
Adapun Keterkaitan antara hilal dengan rukyah dalam penentuan awal bulan Qamariah, posisi hilal ini dinilai berkisar pada tiga keadaan, yakni:
 pasti tidak mungkin dilihat (istihalah al-rukyah),
 mungkin dapat dilihat (imkanur-rukyah),
 pasti dapat dilihat (al-qath’u bi al-rukyah)
Rukyah pada malam ketiga puluh dari bulan kamariah itu boleh-boleh saja dilakukan oleh semua orang, namun ketika dikaitkan dengan masalah ibadah yang sekaligus hasil rukyah tersebut menjadi landasan orang dalam melakukan ibadah kepada Allah, maka para Ulama’ merumuskan syarat-syarat diterimanya rukyah, yaitu sebagai berikut:
• Kesaksian rukyah dapat di terima apabila ketinggian hilal 2 derajat dan jarak ijtima’ ke ghurub matahari minimal 8 jam.
• Apabila ketinggian hilal 2 derajat atau lebih, awal bulan dapat ditetapkan.
• Pelaku ru’yah itu adil dalam persaksiannya.
• Dalam bersaksi, pelaku rukyah harus didampingi oleh dua orang saksi yang adil pula.
Maksudnya, pelaku ru’yah yang bisa diterima persaksiannya yakni orang adil yang melihat hilal, artinya apabila dikehendaki memberikan syahadat (persaksian)-nya di hadapan hakim, maka harus ada dua orang yang adil yang menyaksikan bahwa si Fulan itu bersaksi bahwa ia melihat hilal.
Sebaliknya, hasil rukyah dapat ditolak dengan syarat:
• Jika para ahli hisab dengan dasar-dasar yang qath’i (pasti) sepakat tidak adanya imkanur rukyah (dapat diru’yah)
• Jika jumlah ahli hisab mencapai batas mutawatir, maksudnya orang-orang yang mengumumkan hisab tersebut mencapai jumlah mutawatir maka persaksian ru’yah itu di tolak.
Sebenarnya ada beberapa aliran dalam menetapkan awal bulan Qamariah dengan menggunakan sistem hisab hakiki. Paling tidak, ada dua aliran besar:
(a) aliran yang berpegang pada ijtima’ semata, dan
(b) aliran yang berpegangan pada posisi hilal di atas ufuk.
a. Aliran Ijtima’ Semata
Aliran ini menetapkan bahwa awan bulan Qamariah itu mulai masuk ketika terjadinya ijtima’ (konjungsi). Para pengikut aliran ini mengemukakan adagium yang terkenal “ Ijtima’u an-Nayyiraini itsbatu bayna asy-Syahrayni”, yang artinya bertemunya dua benda yang bersinar (matahari dan bulan) merupakan pemisah antara dua bulan. Kriteria awal bulan yang ditetapkan oleh aliran ini sama sekali tidak memperhatiakn ru’yah. Jadi, menurut aliran ini ijtima’ merupakan pemisah antara dua bulan Qamariah yang berurutan. Waktu yang berlangsung sebelum terjadinya ijtima’ termasuk bulan sebelumnya. Sedangkan waktu yang berlangsung sesudah ijtima’ termasuk bulan baru. Fenomena alam yang dihubungkan dengan saat ijtima’ itu tidak hanya satu, sehingga aliran ijtima’ semata ini terbagi lagi dalam sub-sub aliran yang lebih kecil lagi: ijtima’ qabla al-ghurub, ijtima’ qabla al-fajr, ijtima’ dan terbit matahari, ijtima’ dan tengah hari, dan ijtima’ tengah malam.
Ijtima’ qabla al-Ghurub
Aliran ini mengkaitkan saat ijtima’ dengan saat terbenam matahari. Kelompok ini membuat kriteria jika ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari maka malam hari itu sudah dianggap bulan baru (newmoon). Namun, bila ijtima’ terjadi setelah terbenam matahari, maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan Qamariah yang sedang berlangsung.
Aliran Ijtima’qabla al-ghurub ini menetapkan bahwa pergantian hari atau tanggal terjadi pada saat terbenam matahari. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an surah Yasin ayat 40.
لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ ﴿40﴾
Artinya: “Tidaklah mungkin bagi matahari medapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS Yasin:40)
Para ahli hisab memahami bahwa ungkapan wa la al-Laylu sabiqu an-Nahar menunjukkan bahwa permulaan hari atau tanggal adalah saat terbenam matahari, yakni saat bergantinya siang menjadi malam. Pendapat para ahili hisab ini diperkuat juga dengan praktek rukyah yang dilakukan oleh para sahabat.
Ijtima’ qabla al-Fajr
Beberapa orang ahil hisab mensinyalir adanya pendapat yang menetapkan bahwa permulaan bulan Qamariah ditentukan pada saat itima’ dan terbit fajar. Mereka menetapkan kriteria bahwa “apabila ijtima’ terjadi sebelum terbit fajar maka maka sejak terbit fajar itu sudah masuk buklan baru dan apabila ijtima’ terjadi sesudah terbit fajar maka hari sesudah terbit fajar itu masih termasuk hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung. Mereka juga berpendapat bahwa saat ijtima’ tidak ada sangkut pautnya dengan terbenam matahari.”
Ijtima’ dan Terbit Matahari
Kriteria awal bulan Qamariah menurut aliran ini adalah apabila ijtima’ terjadi di siang hari maka siang itu, yakni sejak terbit matahari tersebut maka malamnya sudah termasuk bulan baru. Akan tetapi sebaliknya, jika ijtima’ terjadi di malam hari maka awal bulan dimulai pada siang hari berikutnya.
Ijtima’ dan Tengah Hari
Menurut aliran ini, kriteria awal bulan Qamariah adalah apabila ijtima’ terjadi sebelum tengah hari (jawal) maka hari itu sudah termasuk bulan baru. Akan tetapi jika ijtima’ terjadi sesudah tengah hari, mka hari itu masih termasuk bulan yang sedang berlangsung.
Ijtima’ dan Tengah Malam
Kriteria awal bulan menurut aliran ini adalah apabila ijtima’ terjadi sebelum tengah malam maka sejak tengaha malam itu sudah masuk awal bulan. Akan tetapi, bila ijtima’ terjadi terjadi sesudah tengah malam, maka malam itu masih termasuk bulan ynag sedang berlangsung dan aweal bulan (newmoon) ditetapkan mulai tengah malam berikutnya.
b.Aliran Ijtima’ dan Posisi Hilal di atas Ufuk
Para penganut alitran ini mengatakan bahwa awal bulan Qamariah dimulai sejak saat terbenam matahari satelah ijtima’ dan hilal pada saat itu sudah berada di atas ufuk. Dengan demikian, secara umum kriteria yang dijadikan dasar untuk menetapkan awal bulan Qamariah oleh para pengikut aliran ini adalah:
 Awal Bulan Qamariah dimulai sejak matahari terbenam setelah terjadi ijtima’.
 Hilal sudah berada di atas ufuk pada saat matahari terbenam.
Dalam sistem ini terbagi menjadi tiga bagian, yakni:
1. Sistem yang berpedoman pada ufuk hakiki, yakni ufuk yang berjarak 90˚ dari titik zenith. Prinsip utama dalam sisitem ini adalah sudah masuk bulan baru, bila hasil hisab menyatakan hilal sudah di atas ufuk hakiki, walaupun belum imkanur ru’yah. Sehingga sistem ini dikenal dengan sistem hisab wujud al-hilal sebagaimana prinsip yang dipegang Muhammadiyah.
2. Sistem yang berpedoman pada ufuk mar’i, yakni ufuk hakiki dengan memperrtimbangkan refraksi (bias cahaya) dan tinggi tempat observasi.
3. Sistem yang berpedoman pada imkanur-rukyah. Jadi, meskipun posisi hilal sudah wujud di atas ufuk hakiki atau mar’i, awal bulan Qamariah masih tetap belum bisa ditetapkan, kecuali apabila hilal sudah mencapai posisi yang dinyatakan dapat dilihat.

D. Al-Ikhtitam
Dari pembahasan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa:
 Awal bulan kamariah dalam islam ditetapkan dengan terbitnya hilal setelah terjadinya ijtima’ pada petang hari.
 Menggenapkan bulan tiga puluh hari (Istikmal) jika pada malam ketiga puluh dari bulan kamariah hilal tidak dapat dilihat.
 Mathla’ al-hilal suatu Negara berbeda dengan negara lain, maka dalam penetapan awal bulan kamariahnya punga berbeda.
 Kriteria dalam menetapkan awal bulan ada beraneka ragam:
o NU dengan konsep Rukyatul-Hilal.
o Muhammadiyah dengan konsep Wujudul-hilal.
o Hizbut-Tahrir dengan konsep Rukyah Global.
o Pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama MABIMS dengan konsep Imkanur-Rukyah.
 Selain perbedaan Mathla’ yang menjadikan awal bulan kamariah berbeda, juga disebabkan pemahaman terhadap konsep ijtima’ yang bermacam-macam.
 Jika masalah perbedaan awal bulan antara mazhab hisab dan mazhab rukyah tidak bisa dikompromikan, hendaknya tidak kita tidak saling bermusuhan agar tercipta keharmonisan dalam bermasyarakat.
Alhamdulillah, dengan karunia Allah kami dapat menyelesaikan tugas ini, meskipun masih banyak kesalahan dan kerancuan di dalamnya. Maka dari itu kami mohon maaf. Dan kami mohon Kritik dan saran konstruktif untuk kesempurnaan makalah ini. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Wallahu a’lamu bis-shawab

E. Daftar Pustaka
Muhammad al-Falaky. Haul Asbab Ikhtilaf Awa’il asy-Syuhur al-Qamariyah, dalam Dirasat Haul Tauhid al-A’yad wa al-Mawasim ad-Diniyah, Idarah as-Syu’un-ad-Diniyah: Tunis, 1981.
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Sabilal-Muhtadin, Daru Ihya’i-kutubil-arabiyyah: Mesir, 1276 H.
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adilatahu, Dar al-Fikr:Beiru:, juz III, 1984
An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, juz VII, Dar al-Fikr:Beirut, 1972.
Abi Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Gharnathy al-Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al-ahkam, juz II, Dar al-Fikr:Beirut, 1341 H.
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari Syarh Sahih Bukhori, cet.I, juz IV,Dar al-Kutub: Beirut,1989.
Abu Yusuf Al-Atsary, pilih hisab atau rukyah, Darul-muslim:solo, 2006.
Tono Saksono, Mengkompromikan Hisab dan Rukyah, Amythas Publicit:Jakarta, 2007.
Muhammad Mansur ibn al-Hamid ibn Muhammad ad-Darimy. Sulam Nayyirayni fi Ma’rifah al-Ijtima’ wa al- Kusufayn, Al-Madrasah Al-Khairiyah Al-Mansurriyah :Jakarta
Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah, Erlangga:Jakarta, 2007.
Depag RI. Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah,
As-San’ani, Subulu as-Salam

4 komentar:

  1. terimaksih atas penjelasn@.

    sya ingin menanyakan bagaimana hisab & dan rukyah penentuan ramdhan mnurut hukum islam sesuai yang rasullulah laksanakan ?

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. kenapa 1 ramadhan 1435 hijriah mengalami perbedaan nadhatul ulama dan muhammaddiyah?
    muhamadiyah=28 juni 2014
    nadhatul ulama=29 juni 2014

    BalasHapus